Saya baru pulang dari menemani Romo ke sana dan kemari. Perasaan saya hari ini..berbeda. Bukan. Bukan tentang perasaan saya ke Romo. Tapi, perasaan saya ke diri saya sendiri. Rasanya saya semacam punya rem pada ban depan dan ban belakang. Ban depan seumpama mulut. Ban belakang seumpama sikap. Jadi, hari ini saya berbicara dan bersikap dengan hati-hati. Tidak berkata asal. Tidak bersikap berlebihan. Karena saya punya rem hari ini. Dan rem saya kebetulan keset. Tidak blong. Dan saya bukan sedang mendadak jaim.
Ingin saja hari ini menjadi seseorang yang begitu berarti untuk diri sendiri. Dan saya yakin, orang lain pun akan menganggap sama seperti yang saya katakan jika saya sendiri saja sudah bisa melakukannya untuk diri saya sendiri. Dan hari ini, saya melakukannya. Saya nyaman dengan diri saya hari ini. Saya suka dengan diri saya hari ini. Bahkan saya ingin seperti ini terus. Saya tidak berkata dan bersikap yang dibuat-buat. Tapi, saya membuat diri saya berkata dan bersikap dengan tenang. Pikiran dan perasaan saya pun saya kemudi setenang mungkin walau sebenarnya di dalam diri sedang berkecamuk penuh amuk. Sikap saya pun saya lakonin seindah mungkin walau aneh dan gugup terus saja mengetuk-ngetuk persendian. Ini lah saya hari ini dan semoga selalu begini.
Romo juga merasa kalau saya hari ini berbeda. Katanya saya diminta untuk bercerita tapi kok malah banyak bertanya. Saya jawab, dengan bertanya maka kita akan bisa bercerita. Romo juga bilang kalau hari ini saya lebih banyak diam. Saya jawab, berkata sedikit itu bukan berarti diam. Tadi juga Romo menyuruh saya untuk nyengir. Tapi, saya hanya bisa tersenyum saja. Padahal selama ini tanpa disuruh bercerita pun, saya pasti selalu berceloteh layaknya anak TK yang sedang dalam masa rasa-ingin-tahunya-besar terlepas apakah celotehan saya didengar atau tidak oleh Romo yang selalu berada di samping saya dan kebiasaan saya yang selalu nyengir yang berarti itu pertanda saya sedang baik-baik saja. Tapi, hari ini saya harus biasa saja. Seperti itu lah harapan saya saat bangun tidur pagi tadi. Ya, biasa saja. Saya juga berpikir, seperti apa yang biasa saja itu? Karena tadi malam saya sudah bersikap kekanak-kanakkan dan saya tidak nyaman. Apalagi sampai harus marah-marah untuk hal yang sangat-tidak-penting-sekali. Benar-benar membuat saya tidak nyaman. Saya tidak ingin begitu. Saya ingin biasa saja. Biasa saja di sini maksudnya bukan berarti saya adalah seperti biasa (baca: berceloteh dan nyengir). Tapi, biasa saja dalam berkata dan bersikap. Tidak lebih tidak kurang. Bukan juga mati rasa. Silakan saya berceloteh, tapi ingat kalau saya punya rem atas kata-kata saya. Silakan berlakon, tapi ingat kalau saya sedang mengemudi dan harus hati-hati.
Saya ini sedang mengemudi di posisi 20 km/jam. Hati saya terus memantau spidometer emosi saya agar jarumnya tetap berada di posisi angka 20 km/jam. Kalau saya rasa-rasa jarum spidometernya lewat dari 20 km/jam, kaki pikiran saya akan segera menginjak rem agar jarum spidometer emosi saya atas perkataan dan sikap saya secara perlahan bisa kembali ke posisi 20 km/jam. Bukan dengan rem dadakan. Nanti saya bisa terjatuh dengan kaget jika saya mengerem dengan mendadak.
Saya harus mengemudi hari-hari saya dengan biasa saja. Biasa saja itu seperti bunyi angin sepoi-sepoi yang menjatuhkan daun dengan membuatnya melayang-layang. Biasa saja itu seperti mempunyai kekasih hati tidak pernah mengkhianati. Biasa saja itu seperti menarik nafas dalam-dalam dengan tenang dan menghembuskannya secara perlahan. Biasa saja itu seperti mempunyai rasa percaya bahwa antara saya dan Romo selalu baik-baik saja.
Jika sesuatu itu kurang, itu bahaya. Jika sesuatu itu berlebih, juga bahaya. Maka, tidak perlu harus mencurigai seseorang yang mengatakan "biasa saja". Dan, Romo adalah orang yang paling rajin mengatakan "biasa saja".
No comments:
Post a Comment